Uncategorized

Pentingnya Lebah Bagi Ketahanan Pangan dan Kelestarian Lingkungan

Sebagian besar tanaman khususnya yang berbunga, sistem penyerbukan dan reproduksinya bergantung pada serangga. Di benua Asia, terdapat sekitar 1.330 tumbuhan yang dibantu penyerbukannya oleh serangga. Serangga yang dimaksudkan dalam hal ini berperan sebagai polinator. Proses penyerbukan yang dibantu oleh serangga ini disebut entomogami. Pada dasarnya hampir keseluruhan jenis serangga dapat berperan sebagai polinator. Namun, jenis yang paling banyak berkontribusi dalam penyerbukan diantaranya seperti kupu-kupu, lebah, lalat buah, dan kumbang. Salah satu contoh serangga yang sangat berperan sebagai polinator adalah lebah madu.  Polinator atau serangga penyerbuk merupakan elemen kunci dalam konservasi ekosistem alami dan stabilitas serta peningkatan produksi tanaman pangan di seluruh dunia. Berdasarkan data FAO, sekitar 90% tanaman atau tanaman berbunga di seluruh dunia menghasilkan buah atau biji yang dimanfaatkan manusia sebagai bahan makanan. Secara langsung, dapat diketahui bahwa serangga penyerbuk memiliki kontribusi yang sangat besar bagi pembangunan ketahanan pangan yang berkelanjutan. Klein et al., (2007) dalam jurnalnya menyebutkan bahwa polinator atau penyerbuk seperti lebah ternyata mampu mempengaruhi 35% produksi tanaman dunia serta meningkatkan hasil produksi 87 tanaman pangan terkemuka di seluruh dunia. Tiga dari empat tanaman di seluruh dunia yang menghasilkan buah atau biji untuk digunakan sebagai bahan makanan membutuhkan adanya peran dari penyerbuk. Dalam hal ini, eksistensi lebah sangat diperlukan dalam ekosistem. Pada dasarnya, lebah dan tumbuhan memiliki keterkaitan simbiosis mutualisme yang mana keduanya saling diuntungkan. Lebah memperoleh sumber makanannya dari tumbuhan, begitupula tumbuhan dibantu proses penyerbukannya oleh lebah. Sehingga, menurunnya populasi tanaman akan mempengaruhi secara signifikan terhadap populasi lebah dunia. Dilansir dari The Guardian, disebutkan bahwa terdapat studi yang menyatakan penurunan tingkat populasi lebah sebesar 30% pada wilayah tertentu dalam satu generasi manusia. Peneliti pun menyatakan bahwa tingkat penurunan ini dapat konsisten mengarah pada kepunahan massal.  Terancamnya populasi lebah disebabkan oleh pertanian intensif yang menyebabkan perubahan lingkungan secara signifikan bagi lebah sehingga dapat memicu kurangnya sumber makanan serta lahan tempat tinggal bagi lebah. Penggunaan insektisida berlebihan juga dapat berpengaruh terhadap eksistensi lebah karena dapat mengancam resiko kematian apabila sumber makanannya mengandung toksik. Penyebab kepunahan juga didukung oleh tingkat suhu bumi yang semakin panas. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), polinator memiliki sifat dan respon yang berbeda terhadap suhu dan habitat. Mereka membutuhkan iklim yang sesuai untuk bertahan hidup. Oleh sebab itu, perubahan iklim sangat mempengaruhi keberadaan dari berbagai jenis polinator seperti lebah. Pada akhirnya, perubahan iklim atau climate change perlu diatasi dengan mengambil tindakan pengurangan emisi yang dapat meningkatkan perubahan itu sendiri. Namun, mengatasi perubahan iklim akan mengalami proses panjang dan kerjasama seluruh manusia. Lantas bagaimana langkah tepat untuk tetap mempertahankan populasi polinator lebah agar tidak mengalami kepunahan sehingga mampu menjaga ketahanan pangan di masa yang akan datang? Terdapat berbagai macam upaya yang dapat kita lakukan untuk meningkatkan dan mempertahankan populasi lebah, diantaranya yaitu menghindari penggunaan pestisida dan pupuk kimia yang akan meracuni lebah dan polinator lainnya. Alternatifnya, bisa dengan menggunakan pupuk organik atau pestisida nabati yang lebih ramah lingkungan dan tidak bersifat toxic terhadap polinator ataupun musuh alami. Selain itu, kita juga dapat menyediakan sumber makanan dan rumah bagi lebah dengan menanam lebih banyak tanaman bunga dan pohon. Apabila lebah merasa nyaman dengan ekosistem yang telah dibuat sedemikian rupa dapat mendukung lebah dalam proses reproduksi dan berkembang biak. Melakukan sistem tanam polikultur atau penanaman jenis tanaman yang beragam juga menjadi salah satu upaya dalam pengembangan populasi. Dengan adanya keragaman jenis tanaman akan memberikan lebih banyak ketersediaan nektar bagi lebah. Selain itu, dengan keragaman jenis tanaman yang ada dapat menyediakan ekosistem dan tempat tinggal bagi lebah sehingga populasinya dapat berkembang dalam lingkungan tersebut.  Melindungi serta meningkatkan populasi serangga penyerbuk tidak hanya penting secara ekonomi saja, tetapi juga berkontribusi pada keamanan dan ketahanan pangan. Dengan adanya populasi lebah yang meningkat dapat berpengaruh pada peningkatan proses penyerbukan sehingga tumbuhan mampu menghasilkan produksi pangan. Lebah juga mampu meningkatkan mata pencaharian yang lebih baik serta pelestarian terhadap lingkungan. Yuk jaga populasi lebah di lingkungan kita!

Uncategorized

Pentingnya Kehadiran Satwa di Lahan Reklamasi Pascatambang

Keberadaan hewan dan tumbuhan penting dalam ekosistem dan rantai makanan. Hewan menggantungkan makanan dan tempat tinggalnya pada keberadaan pepohonan, begitu pula keberadaan hewan diperlukan tumbuhan untuk membantu penyerbukan, pengurai dan menghasilkan pupuk bagi tumbuhan. Beberapa hewan liar bahkan berperan menjaga hutan agar pohon dan air di hutan terjaga. Kegiatan reklamasi lahan pascatambang secara positif mengembalikan kondisi lahan gundul dan berpolutan menjadi lahan hijau yang ditumbuhi pepohonan. Meskipun tidak secara langsung mengembalikan kondisi semula namun reklamasi pascatambang memulihkan ekosistem secara bertahap. Mulai dari memulihkan kondisi tanah, menumbuhkan pepohonan dan hadirnya hewan hingga mikroorganisme lain yang menambah keragaman hayati. Keberadaan satwa pada lahan reklamasi pascatambang menjadi salah satu indikator yang dipantau dalam keberhasilan reklamasi tambang. Pasalnya, hewan akan mencari dan tinggal pada kondisi lingkungan yang memiliki daya dukung untuk hidup. Terbentuknya vegetasi lahan akan membuat naungan bagi hewan-hewan, menyediakan makanan dan air untuk bertahan hidup. Adanya satwa liar ini memiliki peranan yang cukup penting, salah satunya untuk menilai tingkat biodiversitas dalam suatu wilayah tersebut. Dengan populasi satwa mampu menunjukkan suksesi vegetasi pada area reklamasi pascatambang tersebut. Reklamasi pascatambang akan membentuk suksesi primer sehingga mampu mendatangkan satwa ke dalam areanya. Hal ini dikarenakan terciptanya habitat baru yang sesuai sebagai tempat tinggal sebagai ganti teralihnya habitat mereka sebelumnya. Kegiatan reklamasi tidak luput dari kegiatan revegetasi lahan yang mana ditanami dengan tanaman tutupan rendah (rumput) dan tutupan tinggi (hutan). Lahan hasil revegetasi yang subur ini akan menjadi rumah bagi berbagai satwa. Untuk itu terbentuklah ekosistem baru di lahan pascatambang. Tahun 2012 Indmira telah sukses melakukan reklamasi lahan pascatambang di Sanga-Sanga, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Pada kegiatan tersebut, lahan berhasil dihidupkan kembali dengan vegetasi yang tumbuh dengan subur. Keberhasilan reklamasi tersebut didukung dengan munculnya beberapa satwa yang hadir di lahan tersebut. Temuan satwa liar yang muncul pada lahan reklamasi di Sanga-Sanga diantaranya yaitu Bekantan dari kelas Mamalia, burung Hantu dan burung Gereja dari famili Aves, ular Kobra dalam famili Reptil, katak dan kadal dari famili amphibi. Berdasarkan tabel pengamatan keberadaan hewan di lahan reklamasi tambang, famili aves memiliki jumlah yang paling banyak menempati wilayah tersebut dengan jumlah 120 burung, disusul oleh famili mamalia dengan jumlah 20 dan famili reptil dengan jumlah terkecil yaitu 14 ekor. Menurut Djuwantono et al., (2013) dikatakan bahwa keberadaan burung merupakan indikator yang baik untuk menilai biodiversitas dalam suatu wilayah, karena mereka dapat menempati habitat yang luas. Kehadiran banyak jenis burung berkaitan erat dengan kehadiran beberapa jenis tumbuhan dari aktivitas revegetasi maupun kemunculan jenis tumbuhan secara alami. Keberadaan hutan alam di sekitar area reklamasi juga memegang peranan penting dalam mengarahkan suksesi vegetasi di area reklamasi. Selain itu juga berperan sebagai pemicu kecepatan perubahan pertumbuhan yang ada. Identifikasi keberagaman satwa liar pada lahan reklamasi pascatambang dapat menjadi indikator bahwa kegiatan reklamasi telah berjalan dengan baik dan sebagai bahan pertimbangan pengelolaan satwa liar.

Uncategorized

Bioremediasi Metode Rehabilitasi Tanah dengan Mikroorganisme

Terdapat berbagai macam metode pemulihan lingkungan tercemar dengan memanfaatkan mikroorganisme yang secara biologis mengembalikan kondisi tanah. Metode biologis ini dikenal sebagai bioremediasi. Pengaplikasian strategi bioremediasi ini memiliki tujuan untuk meningkatkan laju penguraian, menginaktivasi mikroba yang mampu bertahan dari keberadaan polutan beracun serta memanfaatkan mikroba tersebut untuk melakukan penguraian terhadap polutan sehingga menjadi unsur yang bermanfaat bagi lingkungan sekitar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan yang mendukung penerapan strategi bioremediasi ini menjelaskan bahwa bioremediasi menjadi respon biologis menuju perbaikan substrat pada lingkungan yang telah rusak atau tercemar. Bioremediasi dapat berperan sebagai detoksifikasi dalam menurunkan tingkat racun polutan dalam tanah dengan menggunakan mikroorganisme, tanaman, atau enzim mikroba. Konsep bioremediasi ini telah menjadi sebuah metode yang menawarkan proses pemulihan lahan tercemar menjadi normal dan aman kembali untuk kehidupan ekosistem sekitar. Selain itu, penerapan bioremediasi menjadi strategi yang efisien dalam memulihkan lahan tercemar dengan pengeluaran biaya yang dibutuhkan lebih minim dibandingkan dengan metode konvensional. Keberlanjutan proses bioremediasi ini sangat tergantung dengan keberadaan mikroba. Selanjutnya mikroba dikemas menjadi produk biostimulant yang akan diaplikasikan pada tanah sebagai pembenah tanah. Biostimulan merupakan produk berbasis organik dan diperkaya dengan mikroba yang dapat menstimulasi pembentukan topsoil pada tanah. Mikroba memanfaatkan proses metabolismenya untuk mengkonversi polutan menjadi produk yang menguntungkan melalui reaksi kimia organik yang membutuhkan energi aktivasi yang rendah. Dalam mendukung strategi pemulihan lingkungan tercemar dengan bioremediasi ini, Pemerintah Indonesia telah membuat instrumen hukum yang mengatur standar kegiatan bioremediasi untuk mengatasi lingkungan tercemar akibat kegiatan pertambangan dan perminyakan serta bentuk pencemaran lainnya melalui Kementerian Lingkungan Hidup, Kep Men LH No.128 tahun 2003 tentang tatacara dan persyaratan teknis dan pengelolaan limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis dan telah mencantumkan bahwa bioremediasi dilakukan dengan menggunakan mikroba lokal. Metode bioremediasi ini juga telah diterapkan oleh Indmira dalam berbagai project di beberapa wilayah Indonesia. Salah satunya yaitu dalam menangani dan memulihkan lahan pasca tambang timah di Bangka Belitung, Kepulauan Riau, dan Sumatera Selatan. Dalam penanganannya, Indmira menerapkan biostimulan sebagai salah satu upaya bioremediasi terhadap lahan berpolutan setelah aktivitas pertambangan timah di daerah tersebut. Biostimulan yang dikembangkan Indmira telah diaplikasikan dalam berbagai jenis lahan tambang untuk meningkatkan kesuburan tanah.

Uncategorized

Duh, 90 Juta Lahan Marginal Ada di Indonesia

Dunia semakin berkepentingan dengan produksi pertanian, khususnya produksi pangan. Hal ini berkaitan dengan perkiraan bahwa pada tahun 2025 populasi penduduk akan meningkat 1,4–1,5 kali dari yang ada sekarang. Berdasarkan tren kebutuhan pangan nasional terutama padi, jagung, dan kedelai, maka hingga tahun 2025 dibutuhkan 4,7 juta lahan bukaan baru. Untuk menjamin produksi beras hingga tahun 2025, dibutuhkan perluasan areal sawah sekitar 1,4 juta ha, sedangkan untuk kedelai sekitar 2 juta ha dan untuk tanam jagung sekitar 1,3 juta ha. Meningkatnya kebutuhan akan lahan pertanian tak sejalan dengan ketersediaan lahan produktif untuk pertanian. Lahan produktif untuk pertanian semakin berkurang karena menyusutnya lahan subur untuk berbagai keperluan non pertanian. Memanfaatkan lahan produktif seperti hutan untuk pertanian tentu juga bukan tindakan tepat, terlebih dengan semakin menyusutnya luas hutan kita. Untuk itu perlu pemanfaatan lahan yang belum banyak dimanfaatkan selama ini, yaitu lahan marginal. Menurut Nasih Widya Yuwono (2009) lahan marginal dapat diartikan sebagai lahan yang memiliki mutu rendah karena memiliki beberapa faktor pembatas jika digunakan untuk suatu keperluan tertentu. Lahan marginal umumnya menghadapi kendala kesuburan tanah dan kekeringan. Beberapa contoh lahan yang tergolong kedalam lahan marginal yaitu tanah gambut, lahan bekas tambang, lahan kering, lahan pasir, lahan dekat pantai, dan gurun. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya lahan marginal di suatu wilayah, antara lain karena: Kekeringan, biasanya terjadi di daerah-daerah bayangan hujan. Genangan air yang terus-menerus, seperti di daerah pantai yang selalu tertutup rawa-rawa. Erosi tanah dan masswasting yang biasanya terjadi di daerah dataran tinggi, pegunungan, dan daerah yang miring. Masswasting adalah gerakan masa tanah menuruni lereng. Pengolahan lahan yang kurang memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan. Lahan kritis dapat terjadi di dataran tinggi, pegunungan, daerah yang miring, atau bahkan di dataran rendah. Masuknya material yang dapat bertahan lama di lahan pertanian (tak dapat diuraikan oleh bakteri) misalnya plastik. Plastik dapat bertahan ± 200 tahun di dalam tanah sehingga sangat mengganggu kelestarian kesuburan tanah. Pembekuan air, biasanya terjadi daerah kutub atau pegunungan yang sangat tinggi. Pencemaran, zat pencemar seperti pestisida, limbah pabrik, ataupun sisa pertambangan yang masuk ke lahan pertanian baik melalui aliran sungai maupun yang lain mengakibatkan lahan pertanian baik melalui aliran sungai maupun yang lain mengakibatkan lahan pertanian menjadi kritis. Beberapa jenis bahan pencemar dapat bertahan beberapa tahun di dalam tanah sehingga sangat mengganggu kesuburan lahan pertanian. Lahan  marginal di Indonesia bisa dijumpai baik pada lahan basah maupun lahan kering. Menurut Suprapto (2003), lahan marginal pada lahan basah berupa lahan gambut, lahan sulfat masam dan rawa pasang surut seluas 24 juta ha, sementara lahan marginal pada lahan  kering berupa tanah Ultisol 47,5 juta ha dan Oxisol 18 juta ha. Indonesia memiliki panjang garis pantai mencapai 106.000 km dengan potensi luas lahan 1.060.000 ha, yang secara umum termasuk lahan marginal. Sehingga total lahan marginal baik pada lahan basah, lahan kering maupun lahan pasir pantai di Indonesia mencapai 90 juta ha. Jumlah ini belum termasuk lahan bekas tambang yang ada di Indonesia. Berjuta-juta hektar lahan marginal tersebut tersebar di beberapa pulau, namun belum dikelola dengan baik. Menurut data National Geographic (2014) dari total area di permukaan bumi yang tidak ditutupi es, masih ada 60 Triliun m2 atau 46,5% area yang belum tersentuh (berupa hutan, pegunungan tinggi, tundra, dan gurun). Jika dibandingkan dengan data FAO dalam Global Forest Resource Assessment 2010 yang menyatakan luas hutan dunia sekitar 4.033.060.000 ha, maka luas areal permukaan bumi yang belum tersentuh selain hutan seluas 19.669.400.000.000 m2. Luas yang lebih dari 19 Triliun m2 tersebut termasuk dalam lahan marginal. Lahan-lahan tersebut kondisi kesuburannya rendah, sehingga diperlukan inovasi teknologi untuk memperbaiki produktivitasnya.  Teknologi yang ada selama ini dengan menambahkan topsoil  pada lahan marginal sehingga siap digunakan. Jumlah yang dimasukkan pun terbilang besar, mencapai 20ton/ha lahan. Jumlah tersebut tentu sangat besar, terlebih jika dibandingkan dengan luasnya lahan marginal yang ada. PT Indmira sebagai salah satu  perusahaan berbasis riset dan teknologi, sejak tahun 1999 mengembangkan penelitian tentang pemanfaatan lahan marginal tanpa penggunaan topsoil. Teknologi yang digunakan Indmira dengan menggunakan produk pembenah tanah berupa biostimulan hasil penelitian Indmira. Pembenah tanah yang digunakan berupa nutrisi untuk lahan serta berbagai mikroorganisme yang berperan dalam perbaikan sifat fisik, biologi, dan kimia lahan. Dengan teknologi biostimulant tersebut, lahan marginal siap digunakan untuk pertanian dalam 2 hingga 4 minggu.  Teknologi biostimulan diterapkan oleh PT Indmira dalam pemanfaatan lahan pasir pantai Pandansimo, Yogyakarta  untuk pertanian berbagai komoditas. Pemanfaatan lahan pasir juga digunakan saat bekerjasama dengan PT Newmont Nusa Tenggara tahun 2011 dalam proyek greenbelt sepanjang daerah pesisir tambang. Kondisi di lapangan khas pesisir, dengan tekstur berpasir, kecepatan angin tinggi, porositas tinggi, curah hujan rendah, serta suhu dan salinitas tinggi menjadikan PT Indmira juga memanfaatkan teknologi biostimulan untuk memperbaiki ekosistem lahan pasir. Upaya ini berhasil menumbuhan cemara equisetifolia sebagai greenbelt.  Tak hanya berperan dalam pemanfaatan lahan pasir, teknologi biostimulan ala Indmira juga menunjukkan hasil yang baik pada reklamasi lahan bekas tambang. Keberhasilam ini terlihat pada reklamasi bekas tambang di PT Sanga Coal Indonesia tahun 2013-2014. Keberhasilan ini sebagai angin segar dalam konservasi lahan bekas tambang, sehingga kerusakan lingkungan akibat pertambangan bisa diminimalisir. (Le)