Dunia semakin berkepentingan dengan produksi pertanian, khususnya produksi pangan. Hal ini berkaitan dengan perkiraan bahwa pada tahun 2025 populasi penduduk akan meningkat 1,4–1,5 kali dari yang ada sekarang. Berdasarkan tren kebutuhan pangan nasional terutama padi, jagung, dan kedelai, maka hingga tahun 2025 dibutuhkan 4,7 juta lahan bukaan baru. Untuk menjamin produksi beras hingga tahun 2025, dibutuhkan perluasan areal sawah sekitar 1,4 juta ha, sedangkan untuk kedelai sekitar 2 juta ha dan untuk tanam jagung sekitar 1,3 juta ha. Meningkatnya kebutuhan akan lahan pertanian tak sejalan dengan ketersediaan lahan produktif untuk pertanian.
Lahan produktif untuk pertanian semakin berkurang karena menyusutnya lahan subur untuk berbagai keperluan non pertanian. Memanfaatkan lahan produktif seperti hutan untuk pertanian tentu juga bukan tindakan tepat, terlebih dengan semakin menyusutnya luas hutan kita. Untuk itu perlu pemanfaatan lahan yang belum banyak dimanfaatkan selama ini, yaitu lahan marginal. Menurut Nasih Widya Yuwono (2009) lahan marginal dapat diartikan sebagai lahan yang memiliki mutu rendah karena memiliki beberapa faktor pembatas jika digunakan untuk suatu keperluan tertentu. Lahan marginal umumnya menghadapi kendala kesuburan tanah dan kekeringan. Beberapa contoh lahan yang tergolong kedalam lahan marginal yaitu tanah gambut, lahan bekas tambang, lahan kering, lahan pasir, lahan dekat pantai, dan gurun.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya lahan marginal di suatu wilayah, antara lain karena:
- Kekeringan, biasanya terjadi di daerah-daerah bayangan hujan.
- Genangan air yang terus-menerus, seperti di daerah pantai yang selalu tertutup rawa-rawa.
- Erosi tanah dan masswasting yang biasanya terjadi di daerah dataran tinggi, pegunungan, dan daerah yang miring. Masswasting adalah gerakan masa tanah menuruni lereng.
- Pengolahan lahan yang kurang memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan. Lahan kritis dapat terjadi di dataran tinggi, pegunungan, daerah yang miring, atau bahkan di dataran rendah.
- Masuknya material yang dapat bertahan lama di lahan pertanian (tak dapat diuraikan oleh bakteri) misalnya plastik. Plastik dapat bertahan ± 200 tahun di dalam tanah sehingga sangat mengganggu kelestarian kesuburan tanah.
- Pembekuan air, biasanya terjadi daerah kutub atau pegunungan yang sangat tinggi.
- Pencemaran, zat pencemar seperti pestisida, limbah pabrik, ataupun sisa pertambangan yang masuk ke lahan pertanian baik melalui aliran sungai maupun yang lain mengakibatkan lahan pertanian baik melalui aliran sungai maupun yang lain mengakibatkan lahan pertanian menjadi kritis. Beberapa jenis bahan pencemar dapat bertahan beberapa tahun di dalam tanah sehingga sangat mengganggu kesuburan lahan pertanian.
Lahan marginal di Indonesia bisa dijumpai baik pada lahan basah maupun lahan kering. Menurut Suprapto (2003), lahan marginal pada lahan basah berupa lahan gambut, lahan sulfat masam dan rawa pasang surut seluas 24 juta ha, sementara lahan marginal pada lahan kering berupa tanah Ultisol 47,5 juta ha dan Oxisol 18 juta ha. Indonesia memiliki panjang garis pantai mencapai 106.000 km dengan potensi luas lahan 1.060.000 ha, yang secara umum termasuk lahan marginal. Sehingga total lahan marginal baik pada lahan basah, lahan kering maupun lahan pasir pantai di Indonesia mencapai 90 juta ha. Jumlah ini belum termasuk lahan bekas tambang yang ada di Indonesia. Berjuta-juta hektar lahan marginal tersebut tersebar di beberapa pulau, namun belum dikelola dengan baik. Menurut data National Geographic (2014) dari total area di permukaan bumi yang tidak ditutupi es, masih ada 60 Triliun m2 atau 46,5% area yang belum tersentuh (berupa hutan, pegunungan tinggi, tundra, dan gurun). Jika dibandingkan dengan data FAO dalam Global Forest Resource Assessment 2010 yang menyatakan luas hutan dunia sekitar 4.033.060.000 ha, maka luas areal permukaan bumi yang belum tersentuh selain hutan seluas 19.669.400.000.000 m2. Luas yang lebih dari 19 Triliun m2 tersebut termasuk dalam lahan marginal. Lahan-lahan tersebut kondisi kesuburannya rendah, sehingga diperlukan inovasi teknologi untuk memperbaiki produktivitasnya.
Teknologi yang ada selama ini dengan menambahkan topsoil pada lahan marginal sehingga siap digunakan. Jumlah yang dimasukkan pun terbilang besar, mencapai 20ton/ha lahan. Jumlah tersebut tentu sangat besar, terlebih jika dibandingkan dengan luasnya lahan marginal yang ada. PT Indmira sebagai salah satu perusahaan berbasis riset dan teknologi, sejak tahun 1999 mengembangkan penelitian tentang pemanfaatan lahan marginal tanpa penggunaan topsoil. Teknologi yang digunakan Indmira dengan menggunakan produk pembenah tanah berupa biostimulan hasil penelitian Indmira. Pembenah tanah yang digunakan berupa nutrisi untuk lahan serta berbagai mikroorganisme yang berperan dalam perbaikan sifat fisik, biologi, dan kimia lahan. Dengan teknologi biostimulant tersebut, lahan marginal siap digunakan untuk pertanian dalam 2 hingga 4 minggu.
Teknologi biostimulan diterapkan oleh PT Indmira dalam pemanfaatan lahan pasir pantai Pandansimo, Yogyakarta untuk pertanian berbagai komoditas. Pemanfaatan lahan pasir juga digunakan saat bekerjasama dengan PT Newmont Nusa Tenggara tahun 2011 dalam proyek greenbelt sepanjang daerah pesisir tambang. Kondisi di lapangan khas pesisir, dengan tekstur berpasir, kecepatan angin tinggi, porositas tinggi, curah hujan rendah, serta suhu dan salinitas tinggi menjadikan PT Indmira juga memanfaatkan teknologi biostimulan untuk memperbaiki ekosistem lahan pasir. Upaya ini berhasil menumbuhan cemara equisetifolia sebagai greenbelt.
Tak hanya berperan dalam pemanfaatan lahan pasir, teknologi biostimulan ala Indmira juga menunjukkan hasil yang baik pada reklamasi lahan bekas tambang. Keberhasilam ini terlihat pada reklamasi bekas tambang di PT Sanga Coal Indonesia tahun 2013-2014. Keberhasilan ini sebagai angin segar dalam konservasi lahan bekas tambang, sehingga kerusakan lingkungan akibat pertambangan bisa diminimalisir. (Le)