Green revolution menimbulkan dilema antara dua kepentingan, yaitu sisi ekonomi dan ekologi. Upaya intensifikasi dan ekstensifikasi yang besar-besaran mendorong input pertanian lebih condong pada penggunaan bahan kimia sintetis baik itu pupuk maupun pestisida. Ditambah model budidaya yang monokultur dengan menanam jenis tanaman yang sama terus menerus setiap musim berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan ekosistem akibat lingkungan yang homogen. Ketidakseimbangan ekosistem inilah yang mejadi pemicu terjadinya ledakan hama.
Munculnya berbagai macam jenis hama dan eksplosi diberbagai daerah menjadi pendorong dibutuhkannya upaya pengendalian secara cepat. Begitu pula di pertanaman padi, banyak hama yang menyerang diantaranya wereng, tikus, burung, walang sangit, ulat dan berbagai macam lainnya, semuanya membutuhkan waktu singkat upaya penanganannya agar tidak terjadi ledakan sehingga dipilihlah alternative pestisida kimia yang mampu membunuh secara langsung dan spektrumnya luas pada berbagai macam hama. Namun penggunaan pestisida sintetis sering terjadi tidak tepat sasaran sehingga matilah berbagai macam jenis musuh alami yang akhirnya menjadi penyebab resurjensi (meningkatnya jumlah hama setelah pengaplikasian pestisida) dan resistensi (meningkatnya jumlah hama karena matinya organisme yang peka dan menyisakan organisme yang tahan serta matinya musuh alami) hama.
Musuh alami adalah organisme baik hewan ataupun mikroba yang ada di alam berfungsi sebagai pengontrol populasi hama. Penggunaan musuh alami adalah salah satu cara yang menjadi rujukan dalam rangka pengendalian hama terpadu (PHT). Musuh alami hama dapat berupa predator (pemakan sesame), parasitoid (parasit serangga) dan juga entomopatogen (mikroba antogonis serangga). Meningkatkan jumlah musuh alami dapat mengurangi kerusakan tanaman serta pencemaran lingkungan akibat input kimia. Musuh alami yang digunakan sebagai pengendali popolasi hama umumnya disebut sebagai pengendali hayati. Salah satu strategi untuk memaksimalkan fungsi dan peran musuh alami pada lingkungan yang paling rasional konservasi lingkungan dalam rangka menyediakan pakan dan lingkungan tumbuh yang nyaman bagi musuh alami.
Manajemen habitat diartikan sebagai upaya memanipulasi habitat lokal agar sesuai bagi musuh alami sehingga daya tekan terhadap populasi hama meningkat, dan salah satu diantaranya adalah dengan sistem tanam beragam (polyculture). Schellhorn dan Sork (1997) menunjukkan bahwa keragaman vegetasi dapat meningkatkan keragaman artropoda herbivora dan karnivora.
Refugia adalah pertanaman beberapa jenis tumbuhan yang dapat menyediakan tempat berlindung, sumber pakan dan daya lain bagi musuh alami seperti predator dan parasitoid. Refugia memiliki fungsi sebagai habitat alternative dalam usaha konservasi musuh alami. Jenis tanaman refugia dapat bermacam-macam seperti tanaman hias dengan contoh bunga matahari, bunga kertas, dan kenikir, gulma contohnya seperti babandotan, ajeran dan bunga tahi ayam.
Refugia yang saat ini dikembangkan umumnya adalah tanaman berbunga cerah yang berfungsi menarik serangga-serangga predator, parasitoid dan polinator seperti lalat syrpid dan jala. Selain sebagai penarik serangga, refugia juga dapat difungsikan nilai estetika dan ekonomis. Nilai estetika lingkungan dapat diperoleh dari warna bunga macam-macam yang diatur sepanjang pematang sawah akan menambah keindahan lingkungan, dan hal ini yang akan menarik anak-anak untuk semenjak kecil dikenalkan pertanian, sehingga harapannya nanti mau kembali ke pertanian. Sementara itu nilai ekonomi didapat dari macam bunga yang ditanam, hasilnya dapat dipetik lagi sebagai sayuran ataupun yang lainnya seperti bunga kenikir daunnya dapat dijual sebagai sayur lalapan ataupun bunga matahari dapat diambil bijinya dan yang paling penting banyak pula yang dapat digunakanuntuk bahan-bahan kesehatan. Menanam macam-macam bunga refugia sekarang tidak hanya mencakup satu fungsi saja tapi tiga sekaligus ekologi, ekonomi dan estetika.